Al Julani, Pemimpin Milisi HTS Suriah Pernah Gabung Al Qaeda
GELUMPAI.ID – Abu Mohammed Al Julani, pemimpin milisi Hayat Tahrir Al Sham (HTS), kembali menjadi sorotan setelah memimpin pemberontakan yang berhasil menggulingkan rezim Presiden Suriah, Bashar Al Assad pada Minggu (8/12). HTS kini menjadi kelompok oposisi paling kuat di Suriah, menentang rezim Al Assad yang telah memerintah sejak tahun 2000.
Profil Abu Mohammed Al Julani
Al Julani, yang lahir dengan nama Ahmed Hussein Al Sharaa pada 1982 di Riyadh, Arab Saudi, memiliki latar belakang yang cukup rumit. Pada 1989, keluarganya kembali ke Suriah dan menetap di Damaskus. Pada 2003, Al Julani pindah ke Irak dan bergabung dengan Al Qaeda di Irak untuk melawan invasi Amerika Serikat.
Pada 2006, Al Julani sempat ditangkap oleh pasukan AS dan dipenjara selama lima tahun. Setelah dibebaskan pada 2011, ia mendirikan Front Al Nusra, yang kemudian menjadi cikal bakal HTS. Kelompok ini pada awalnya mendapat bantuan dari Negara Islam Irak, namun kemudian memisahkan diri dan menyatakan kesetiaan pada Al Qaeda.
Pada 2014, dalam wawancara pertamanya di televisi, Al Julani mengungkapkan pandangannya bahwa Suriah harus dipimpin berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang “hukum Islam”, dan tidak ada tempat untuk minoritas seperti orang Kristen dan Alawi.
Namun, pada 2016, Al Julani memutuskan hubungan dengan Al Qaeda karena merasa afiliasi tersebut tidak mendukung tujuannya untuk memperoleh dukungan dari masyarakat lokal Suriah. Setelah itu, ia bergabung dengan faksi-faksi lain dan mengubah nama kelompoknya menjadi Hayat Tahrir Al Sham pada 2017.
HTS kini berusaha tampil lebih moderat dan modern dengan membangun pemerintahan di wilayah yang mereka kuasai, termasuk memungut pajak, menyediakan layanan publik, dan menerbitkan kartu identitas untuk penduduk. Meski demikian, mereka masih menghadapi kritik karena metode otoriter dalam menjalankan pemerintahan, dengan menindak keras perbedaan pendapat.
Untuk merespons kritik tersebut, HTS memulai serangkaian reformasi, termasuk membubarkan atau mengganti nama pasukan keamanan yang dituduh melakukan pelanggaran HAM, serta mendirikan “Departemen Pengaduan” untuk memungkinkan warga mengajukan keluhan terhadap mereka.
Tinggalkan Komentar