GELUMPAI.ID – Myanmar baru saja diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,7 SR yang menewaskan lebih dari 2.800 orang. Saat negara-negara lain bergerak cepat mengirim bantuan, respons dari Amerika Serikat justru mengecewakan.
Tim penyelamat dari China, India, dan Rusia langsung terjun ke lokasi, menarik korban selamat dan mengevakuasi jenazah dari reruntuhan hotel, sekolah, dan biara. Media sosial Myanmar pun ramai dengan ucapan terima kasih untuk China, yang biasanya mendapat respons negatif karena hubungannya dengan junta militer.
China berjanji mengirim bantuan senilai 100 juta yuan (Rp 218 miliar). Gelombang pertama berupa tenda, selimut, dan peralatan medis sudah tiba di Yangon sejak Senin. India juga mengirim 625 ton bantuan dan mendirikan rumah sakit darurat.
Sementara itu, AS hanya menyumbang US$2 juta (sekitar Rp 31,7 miliar) dan mengirim tim kecil untuk menilai situasi. Itu pun terkendala masalah visa dari pemerintah militer Myanmar. Padahal, dulu AS dikenal sebagai pemimpin dalam respons bencana global.
Mantan pejabat USAID, Marcia Wong, menyebut kebijakan pemotongan anggaran di era Trump membuat AS kehilangan kemampuan untuk bertindak cepat dalam krisis kemanusiaan. “Kita menciptakan kekosongan yang akhirnya diisi oleh pihak lain,” ujarnya.
China memanfaatkan situasi dengan mengerahkan tim penyelamat dari provinsi Yunnan, yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Mereka bahkan melewati wilayah yang dikuasai pemberontak, menunjukkan betapa besar pengaruh Beijing di negara tersebut.
Di sisi lain, junta militer Myanmar sempat menembakkan tembakan peringatan ke konvoi Palang Merah China yang masuk tanpa izin. Meski begitu, Beijing memastikan tidak ada korban dalam insiden tersebut.
Reaksi warga Myanmar pun mulai berubah. “Sentimen anti-China turun drastis,” kata peneliti Sai Tun Aung Lwin. Media milik pemerintah China gencar memberitakan aksi heroik tim penyelamat mereka, semakin mengukuhkan posisi Beijing di kawasan.
Sumber: Reuters