GELUMPAI.ID — Gelombang kejahatan seksual di Nusa Tenggara Timur (NTT) memasuki fase darurat. Data terbaru menunjukkan, mayoritas narapidana di provinsi tersebut dipenjara karena kasus kekerasan seksual.
Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTT, Asti Laka Lena, menyebut kondisi ini sangat memprihatinkan. Ia mengungkap, 75 persen narapidana di NTT dipenjara karena kekerasan seksual. Lebih mencengangkan, 60 persen korban di antaranya adalah anak-anak.
“Ini sangat memprihatinkan. Kita bilang ini darurat kekerasan seksual,” ucap Asti usai audiensi dengan Komnas Perempuan dan Komnas HAM di Jakarta, Kamis, 10 April 2025.
Sepanjang tahun 2024, terdapat sekitar 1.700 laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak dari seluruh kabupaten/kota di NTT.
Tahun ini, hingga Maret saja, laporan dari tingkat provinsi telah menembus angka 140 kasus.
Jika tren ini berlanjut, total laporan kekerasan seksual sepanjang tahun 2025 diperkirakan bisa mencapai lebih dari 600 kasus.
“Peningkatannya sangat signifikan. Ini harus jadi perhatian bersama,” ujar Asti.
Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan lonjakan angka ini mencerminkan lemahnya sistem perlindungan yang ada saat ini.
“Angkanya darurat sehingga tentu pencegahan sangat penting dilakukan,” kata Anis.
Asti menambahkan, kekerasan seksual di NTT merupakan isu yang kompleks dan lintas sektor. Ia menyoroti peran teknologi digital dalam menjebak korban, terutama anak-anak.
Menurutnya, aplikasi percakapan seperti Michat kerap digunakan pelaku untuk mengelabui korban, bahkan anak-anak SD dan SMP.
“Kita harus curiga ini sudah jadi bisnis. Korbannya makin banyak, pelakunya dari berbagai segmen,” katanya tegas.
Ia menyerukan kolaborasi lintas lembaga untuk menghentikan siklus kekerasan ini. Ia berharap, NTT bisa menjadi tempat yang aman bagi semua kalangan, khususnya perempuan dan anak-anak.
“Kita mau NTT jadi rumah yang aman untuk perempuan dan anak-anak,” pungkas Asti.
Sumber: TEMPO