Data Produksi Gula Bermasalah? Pakar IPB Ungkap Kebijakan Impor Jadi Sorotan
GELUMPAI.ID – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Dwi Andreas Santosa, menyarankan pemerintah untuk memperbaiki data produksi pangan pokok sebelum mengambil keputusan strategis seperti menyetop impor gula konsumsi. Ia mengungkapkan, seluruh data pangan pokok sebaiknya diserahkan ke Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menjaga independensi.
“Kalau data diambil oleh sektoral (kementerian/lembaga terkait), kepentingan sektoral sangat kuat. Ketika ada program swasembada komoditas, akhirnya ya sudah didata saja yang berbeda dengan kenyataan,” jelas Kepala Biotech Center IPB University ini saat dihubungi pada Sabtu, 28 Desember 2024.
Produksi Gula dan Kesan Data Tak Akurat
Dwi Andreas secara terbuka menyatakan keraguannya terhadap data produksi gula dari Kementerian Pertanian (Kementan). Sejak 2020, angka produksi gula dilaporkan meningkat dari 2,13 juta ton (2020), menjadi 2,35 juta ton (2021), dan 2,41 juta ton (2022). Namun, pada 2023 yang diproyeksikan akan menghasilkan 2,61 juta ton, hasil akhirnya justru hanya mencapai 2,27 juta ton.
“Pada tahun itu ada El Nino yang sudah pasti menyebabkan produksi gula anjlok. Berdasarkan kajian 40 tahun terakhir, fenomena ini selalu menurunkan produksi,” ungkapnya.
Imbas Data Keliru terhadap Kebijakan Impor
Kesalahan data produksi juga memengaruhi kebijakan impor. Andreas yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mencatat impor gula terbesar terjadi pada 2022 dengan volume 6 juta ton. Namun, pada 2023, ketika produksi gula diproyeksikan naik, pemerintah justru menurunkan kuota impor menjadi 5 juta ton.
Hal ini berdampak pada lonjakan harga gula pasir yang signifikan. Dari Rp 14.300 per kilogram pada awal tahun, harga terus meroket hingga Rp 17.300 pada September 2023. Andreas menilai kebijakan penurunan kuota impor inilah yang menjadi penyebab utama kekurangan stok dan tingginya harga gula.
“Ketika panen, harga justru naik. Itu artinya, stok sangat terbatas karena tidak ditopang impor yang cukup,” ujarnya.
Koreksi Kebijakan
Andreas menegaskan bahwa penyebab utama masalah ini adalah data yang tidak akurat. Ia berharap pemerintah mengambil langkah serius dalam memperbaiki pengumpulan data pangan pokok untuk menghindari dampak buruk pada kebijakan dan harga pangan nasional.
Tinggalkan Komentar