GELUMPAI.ID – Nilai tukar rupiah masih dalam tekanan meski kini bertahan di level Rp16.200 per dolar AS. Penyebab utamanya adalah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump yang memicu penguatan dolar.
Chatib Basri, Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), mengungkapkan bahwa kebijakan imigrasi Trump dapat memperburuk inflasi AS, yang pada akhirnya berdampak pada pasar keuangan global, termasuk Indonesia.
“Karena banyak pekerjaan di Amerika Serikat itu terutama yang unskilled dipegang oleh pekerja-pekerja dengan upah yang rendah, yang banyak dari mereka adalah undocumented workers,” ujar Chatib usai bertemu Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/2/2025).
Inflasi AS Bisa Picu Gejolak Global
Jika pekerja imigran yang dideportasi digantikan oleh tenaga kerja resmi atau warga AS, upah akan meningkat drastis. Hal ini bisa mendorong lonjakan inflasi di AS yang selama tiga tahun terakhir masih berjuang untuk stabil pascapandemi Covid-19.
Sebelumnya, Bank Sentral AS (The Fed) sempat berencana menurunkan suku bunga acuan setelah inflasi mulai melandai. Namun, dengan kebijakan baru Trump, rencana itu terancam batal.
“Kalau inflasi di Amerika akan naik, maka The Fed itu mungkin tidak mudah untuk menurunkan bunga, bahkan mungkin akan meningkatkan bunga,” jelas Chatib.
Dolar AS Makin Kuat, Rupiah Kian Tertekan
Saat ini, suku bunga The Fed berada di level 4,25-4,5%, sementara BI rate tercatat di 5,75% setelah pemangkasan 25 basis poin pada awal tahun.
Dampak dari kebijakan ini bisa memicu arus modal keluar dari Indonesia (capital outflow) seiring dengan kenaikan yield obligasi AS (US Treasury). Indeks Dolar AS yang kini di level 107 diperkirakan terus menguat, menekan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
“Kemudian masalahnya adalah strong dollar,” pungkas Chatib.
Sumber: CNBC Indonesia
