Internasional News

Lebih dari 40 Orang Dirawat Akibat Bentrokan di Georgia, PM Pro-Putin Dukung Tindakan Keras

GELUMPAI.ID – Georgia kembali memanas setelah keputusan mengejutkan pemerintah yang menghentikan pembicaraan selama 15 tahun untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE). Keputusan ini memicu protes besar di ibu kota Tbilisi, dengan lebih dari 40 orang, termasuk pengunjuk rasa, polisi, dan jurnalis, dilaporkan mengalami luka serius akibat bentrokan dengan pihak keamanan.

Dilansir dari berbagai sumber, Perdana Menteri Irakli Kobakhidze yang pro-Putin mendukung langkah keras polisi dalam meredam protes. Kobakhidze, pemimpin partai penguasa Dream Party, menegaskan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak tegas.

“Setiap pelanggaran hukum akan dihadapi dengan penuh ketegasan. Para politisi yang bersembunyi di balik kantor mereka dan mengorbankan anggota kelompok kekerasan juga tidak akan luput dari tanggung jawab,” ujar Kobakhidze dalam konferensi pers akhir pekan.

Kekerasan Pecah di Tengah Protes

Protes yang berlangsung hingga Minggu malam (1/12) melibatkan puluhan ribu demonstran yang menuntut kejelasan soal keputusan pemerintah menghentikan upaya integrasi dengan UE. Polisi menggunakan meriam air dan gas air mata untuk membubarkan kerumunan, sementara demonstran melawan dengan petasan.

Kementerian Dalam Negeri Georgia melaporkan 44 orang terluka, termasuk 27 demonstran, 16 petugas polisi, dan seorang jurnalis. Bentrokan terjadi di depan Gedung Parlemen di Tbilisi, dengan suasana semakin memanas setelah pemerintah mengklaim bahwa keputusan ini bertujuan melindungi Georgia dari campur tangan asing.

Kritik dari Dalam dan Luar Negeri

Keputusan untuk menghentikan proses integrasi UE diumumkan hanya beberapa jam setelah Parlemen Eropa mengadopsi resolusi yang mengutuk pemilu di Georgia sebagai tidak bebas dan tidak adil. Kobakhidze menuduh tekanan dari luar negeri sebagai penghalang utama integrasi UE.

“Kami tidak menolak integrasi, tetapi menolak pemerasan memalukan yang menjadi hambatan besar untuk kemajuan kami,” ujar Kobakhidze.

Namun, kritik keras datang dari Uni Eropa. Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Kaja Kallas dan Komisaris Perluasan Marta Kos mengeluarkan pernyataan bersama yang mengecam keputusan ini, menyebutnya sebagai tanda mundurnya demokrasi di Georgia.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar