Bisnis & Ekonomi News

Pembahasan Kenaikan Upah Minimum Mulai Digelar, Apindo Soroti Skala Upah

Gelumpai.id, Ekonomi & Bisnis – Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Subchan Gatot mengungkapkan bahwa pihaknya telah memulai sidang terkait pembahasan kenaikan upah minimum. Sidang tersebut berlangsung sejak Sabtu hingga Senin, dengan Dewan Pengupahan Nasional terlibat dalam proses tersebut. Bahkan pada hari Minggu, dilakukan rapat khusus bersama Menteri untuk membahas masalah pengupahan.

“Ada perwakilan pengusaha, serikat, dan pemerintah. Sejak awal kami ingin menyelesaikan ini karena waktu yang terbatas untuk memutuskan upah minimum, maka kami ingin PP 51/2024 menetapkan kenaikan maksimal 0,3%, sekitar 3,5%. Selain itu, kami juga mendorong pengaturan struktur dan skala upah untuk pekerja dengan pengalaman lebih dari 0-1 tahun, karena mereka merupakan mayoritas,” kata Subchan di Jakarta, dikutip Sabtu (16/11/2024).

Dikutip dari CNBC Indonesia, tahun ini Apindo berencana untuk menggunakan skala upah sesuai dengan PP 51/2023. Bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun, mereka akan mengalami kenaikan gaji dengan skala yang disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, berkisar antara 1-3%.

Subchan menambahkan bahwa dengan menetapkan upah minimum yang tidak terlalu tinggi, perusahaan dapat tetap tumbuh. Kenaikan upah yang tinggi sebelum pandemi, yang mencapai sekitar 8% per tahun, membuat banyak perusahaan kesulitan dan bahkan memutuskan untuk hengkang.

“Di Karawang, perusahaan besar satu per satu mengalami kolaps. Awalnya perusahaan tier 3, kemudian tier 2, dan akhirnya tier 1 juga ikut terdampak dan harus relokasi. Dampaknya tidak terlihat dalam satu tahun, tetapi setelah lima tahun baru terasa,” jelas Subchan.

Dikutip dari CNBC Indonesia, di sisi lain, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam mengungkapkan bahwa Indonesia sebelumnya pernah menjadi tujuan investasi utama, bahkan mengalahkan negara-negara lain. Namun, hal tersebut berubah setelah buruh menuntut kenaikan upah yang besar.

“Pada 2011, Indonesia menjadi tujuan investasi nomor satu, mengalahkan China dan Vietnam. Tapi setelah ada demo besar pada 2012, Indonesia kehilangan posisi tersebut. Dulu ada raksasa elektronik yang berniat masuk ke Indonesia, tetapi setelah didemo, akhirnya memilih Penang. Seandainya Indonesia tetap terbuka, mungkin saat ini per kapita kita sudah mencapai US$ 7.000-8.000,” sebut Bob Azam.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar