PM Georgia Puji Tindakan Keras terhadap Demonstran Meski Mendapat Kecaman AS
GELUMPAI.ID – Perdana Menteri Georgia, Irakli Kobakhidze, memuji tindakan keras polisi dalam menangani gelombang protes anti-pemerintah yang berlangsung selama tiga malam berturut-turut di Tbilisi. Langkah ini menuai kritik tajam dari Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menilai Georgia semakin menjauh dari jalur demokrasi pro-Barat.
Protes besar terjadi setelah pemerintah mengumumkan penghentian pembicaraan keanggotaan Uni Eropa (UE) selama empat tahun ke depan, yang dianggap banyak pihak sebagai langkah mendekat ke Rusia. Dalam konferensi pers, Kobakhidze menuduh bahwa protes dipicu oleh “instruktur asing” yang ingin merusak tatanan konstitusi negara.
“Polisi kami bertindak dengan standar yang lebih tinggi dibandingkan polisi di Amerika dan Eropa, meskipun menghadapi kekerasan sistematis dari kelompok-kelompok ini dan para instruktur asing mereka,” ujar Kobakhidze, tanpa memberikan bukti atas tuduhan tersebut.
Krisis Politik yang Kian Mendalam
Keputusan untuk menghentikan pembicaraan dengan UE memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di Georgia, negara bekas Uni Soviet dengan populasi 3,7 juta jiwa. Demonstrasi ini diperparah oleh krisis politik internal, termasuk penolakan Presiden Salome Zourabichvili untuk mundur saat masa jabatannya berakhir akhir bulan ini.
Zourabichvili, yang dikenal vokal mendukung keanggotaan UE, menyatakan bahwa parlemen baru hasil pemilu Oktober lalu tidak sah karena dicurigai terjadi kecurangan.
“Saya tidak akan meninggalkan jabatan saya karena parlemen ini tidak memiliki legitimasi untuk menunjuk pengganti saya,” tegas Zourabichvili.
Namun, Kobakhidze tetap bersikukuh bahwa Zourabichvili harus meninggalkan kantor presiden pada 29 Desember. Kandidat pengganti yang diajukan partai pemerintah, Georgian Dream, adalah Mikheil Kavelashvili, seorang mantan bintang sepak bola dengan pandangan keras anti-Barat.
Tuduhan “Agen Asing” dan Tekanan dari Barat
Tindakan keras terhadap demonstran dan kebijakan pemerintah yang semakin otoriter telah memicu kecaman internasional. Uni Eropa dan Amerika Serikat melihat langkah ini sebagai tanda mundurnya demokrasi Georgia. Uni Eropa bahkan memperingatkan adanya “konsekuensi langsung” jika pemerintah Georgia terus menolak jalur integrasi ke UE.
Tinggalkan Komentar