Sahat Sinaga: Kebun Sawit Rakyat Perlu Satelit, Filipina Sudah Buktikan Keefektifannya
Gelumpai.id, Nasional – Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menyarankan agar Indonesia memanfaatkan teknologi satelit untuk memantau kebun sawit rakyat. Sahat menilai, penggunaan satelit adalah solusi efisien untuk mendeteksi penyakit pada tanaman sawit, seperti yang telah terbukti efektif di Filipina, yang memanfaatkan satelit untuk memantau kebun pisang seluas 400 ribu hektare.
Sahat menjelaskan, penggunaan satelit memberikan keuntungan dalam hal efisiensi dan pemantauan secara real-time terhadap kebun sawit. Teknologi satelit bahkan mampu mendeteksi penyakit tanaman melalui gelombang tertentu, misalnya penyakit ganoderma dan bakteri yang memiliki gelombang deteksi yang berbeda.
“Kalau pakai drone itu nggak efisien. Lebih baik pakai satelit, dan kita sudah punya satelit Palapa. Dengan satelit, kita bisa mendeteksi penyakit. Dilihat dari gelombangnya. Jadi kalau dia ganoderma gelombangnya gini, kalau ada bakteri gelombangnya beda lagi,” kata Sahat saat ditemui usai Seminar Rumah Sawit Indonesia (RSI) di Jakarta, dikutip Selasa (19/11/2024).
Menurutnya, dengan hampir 18 juta hektare kebun sawit yang dimiliki Indonesia, teknologi satelit seharusnya sudah diadopsi. Sahat membandingkan dengan Filipina, yang meskipun memiliki kebun pisang yang jauh lebih kecil, sudah memanfaatkan teknologi satelit untuk memantau 400 ribu hektare kebun pisangnya.
“Di Filipina saja, kebun pisang mereka yang jauh lebih kecil, cuma 400 ribu hektare sudah menggunakan satelit. Lah kok kenapa kita yang jauh lebih luas, hampir 18 juta hektare belum memanfaatkannya?” ujarnya.
Sahat menambahkan, penggunaan satelit dapat membantu mendeteksi penyakit secara dini, seperti ganoderma, dan meningkatkan produktivitas kebun sawit rakyat. Jika petani sawit rata-rata menghasilkan 9 ton tandan buah segar (TBS) per hektare per tahun, dengan perawatan yang optimal, hasilnya bisa meningkat hingga 20 ton per hektare per tahun. Selisih 11 ton tersebut, menurut Sahat, dapat menutupi biaya teknologi satelit tanpa membebani petani.
“Saya bicara dengan profesor dari Hiroshima, Jepang. Dia tanya, ‘biayanya gimana?’ Saya bilang, dipotong dari 11 ton (selisihnya) itu. Jadi nggak perlu ngeluarkan duit duluan. Tapi untuk itu perlu koperasi, jadi administrasinya jelas,” jelasnya.
Namun, Sahat menyadari bahwa implementasi teknologi satelit ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga teknologi. Ia menyebutkan kemungkinan kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), serta pengembangan teknologi serupa oleh akademisi, dapat menjadi langkah awal yang penting.
“Karena kalau individu, mana mungkin individu sanggup. Profesor dari Hiroshima itu mereka sudah punya satelit model yang dipakai untuk kebun pisang di Filipina. Jadi model sejenis akan mereka kembangkan untuk sawit, yang nanti bisa disambungkan ke satelit Palapa kita,” ujarnya.
Meski demikian, Sahat mengakui bahwa gagasan ini masih bersifat pribadi dan belum menjadi kebijakan pemerintah. “Ini baru pemikiran saya sendiri. Bingung ya (mau mengusulkan ke mana),” pungkasnya.
Tinggalkan Komentar