Ruang Getizen

‘Sextortion’: bentuk kekerasan seksual online yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa UU ITE masih relatif abai terhadap motif di balik suatu tindakan, serta kurang memiliki perspektif gender. Akibatnya, kerap terjadi kendala dalam menentukan pasal untuk menjerat berbagai bentuk Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS).

Sebagai gambaran, dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) di Sleman pada tahun 2018 dan di Makassar pada tahun 2019, fokus dakwaan Jaksa Penuntut Umum maupun putusan Majelis Hakim sebatas pada penyerbaluasan konten yang melanggar, bukan tindak pemerasan seksual itu sendiri.

Pada kasus di Sleman, misalnya, hakim memidana pelaku berdasarkan Pasal 29 UU Pornografi (atas penyebarluasan materi pornografi) dan Pasal 45B UU ITE (atas ancaman kekerasan dan menakut-nakuti). Pada kasus di Makassar, hakim memidana pelaku berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU ITE (penyebarluasan materi asusila).

Bagaimana dengan UU TPKS yang khusus mengatur kekerasan seksual?

Dengan adanya UU TPKS yang mengatur tentang berbagai jenis tindak pidana kekerasan seksual, apakah sudah cukup untuk menjerat kasus sextortion?.

Sebenarnya, Pasal 14 ayat (1) UU TPKS terkait kekerasan seksual berbasis elektronik telah mengatur pemerasan dengan berbagai wujud.

Pertama, melibatkan rekaman, gambar, atau tangkapan layar bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan subjek di konten tersebut (huruf a). Kedua, melibatkan transmisi informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan seksual di luar kehendak penerima (huruf b). Ketiga, melibatkan penguntitan dan/atau pelacakan menggunakan sistem elektronik (huruf c).

Dalam UU TPKS, cakupan pemerasan mengalami perluasan dan mengakui bahwa pemerasan berbau seksual melibatkan beragam wujud ancaman. Perluasan tersebut telah membuka ruang untuk mengakomodasi kasus sextortion.

Meski demikian, UU TPKS juga tak luput dari kekurangan. Aturan ini tidak secara gamblang mengatur perbuatan sextortion itu sendiri dan masih menimbulkan area abu-abu, karena tidak memuat penjelasan mengenai apa saja yang digolongkan sebagai informasi elektronik dan dokumen elektronik yang bermuatan seksual.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.