“Kami mendukung rakyat Georgia dan pilihan mereka untuk masa depan Eropa. Kami mengutuk kekerasan terhadap demonstran dan menyesalkan sinyal dari partai penguasa yang tidak melanjutkan jalur demokrasi,” tulis Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Kaja Kallas di media sosial.
Di sisi lain, pemerintah Georgia membela kebijakan mereka sebagai upaya melindungi negara dari campur tangan asing dan menghindari perang dengan Rusia, seperti yang terjadi di Ukraina. Pada Juni lalu, pemerintah mengesahkan undang-undang kontroversial yang mewajibkan LSM yang menerima lebih dari 20% pendanaan dari luar negeri untuk mendaftar sebagai “agen asing.” Kebijakan ini dianggap meniru langkah serupa yang diterapkan oleh Rusia.
Reaksi dari Rusia
Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, yang kini dikenal sebagai pendukung garis keras Kremlin, menyebut situasi di Georgia sebagai “upaya revolusi.” Dalam pernyataannya di Telegram, ia menyamakan Georgia dengan Ukraina yang sedang menuju “jurang kegelapan.”
Kremlin, meski belum memberikan komentar resmi, telah lama menuduh Barat menghasut revolusi di negara-negara bekas Soviet yang dianggap sebagai bagian dari pengaruh Moskow.
Demonstrasi diperkirakan akan terus berlanjut, dengan banyak warga Georgia menuntut transparansi dan jalur kembali ke integrasi UE. Namun, dengan sikap keras pemerintah dan dukungan Kobakhidze terhadap tindakan represif, masa depan demokrasi Georgia tampak suram.
Dikutip dari Fox News