Oleh : Jamaludin
Kepergian orang terdekat memang nampak menyedihkan (untuk kebanyakan orang).
Dan keberdukaan sepertinya sudah terlabeli sebagai hal yang sangat menyedihkan.
Ditinggal untuk selamanya mungkin kebanyakan dari kita selalu sedih dan menunjukannya.
Sebenarnya untuk apa sedih?
Apakah sebagai media menyalurkan perasaan??
Atau sebagai kebiasaan dalam moralitas?
Biasanya yang merasa menjadi paling dekat dan sayang yang sangat pilu ketika terjadi perpisahan.
Bukan kah dengan sedih atau tak sedih efeknya sama saja?
Perpisahan tetap akan menjadi perpisahan karena kesedihan tak dapat merubah apapun.
Jika dengan bersedih apakah berarti kita yang paling sayang.
Jika begitu berarti “tak sedih maka tak sayang?”
Apakah salah jika ada seseorang yang ditinggalkan dan dia happy happy saja, dan apakah salah ketika ada rekan yang mengucapkan turut berduka cita kemudian direspon dengan candaan?
Di tahun 2022 tepatnya dibulan april, saya kehilangan sesuatu yang diperjuangkan
Ayah saya sudah didiami monster yang namanya diabetes bertahun tahun lalu dari semenjak saya kecil,dan ketika saya kelas 3 SD bapak saya divonis komplikasi.
Bukan lagi hanya diabetes tapi tentang segala penyakit.
Belasan tahun hidup yang dirundung kesedihan,hidup berada digaris kemiskinan dengan kondisi ayah yang sakit kras serta sang superhero yang sangat kuat (saya menyebutnya ibu).
Tak kenal panas dan hujan yang selalu berrkeliling berjualan untuk keluarga.