GELUMPAI.ID – Konflik soal pemasangan pagar laut ilegal di perairan Kabupaten Tangerang terus memanas. Jumat, 17 Januari 2025, Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH-AP) Muhammadiyah resmi melaporkan kasus ini ke Mabes Polri.
Ketua Riset LBH-AP Muhammadiyah, Gufroni, mengatakan somasi terbuka mereka untuk membongkar pagar dalam waktu 3×24 jam tak mendapat respons. “Kami mendatangi Mabes Polri bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk menyerahkan laporan resmi,” ungkapnya.
Somasi ini dilatarbelakangi dampak serius pagar bambu sepanjang 30 kilometer terhadap nelayan pesisir dan lingkungan sekitar. “Pagar ini merampas hak akses publik. Harus segera dibongkar,” ujar Gufroni, Senin, 13 Januari 2025.
Dalam aksi simbolis sebelumnya, LBH-AP bersama masyarakat mencabut beberapa batang pagar bambu sebagai bukti pelanggaran. Jika tak segera dibongkar, mereka siap menempuh jalur pidana dan perdata.
Nelayan Terdampak Serius
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat ribuan nelayan terganggu akibat pemagaran tersebut. Menteri KKP, Wahyu Trenggono, menyebut 3.888 nelayan dari enam kecamatan terdampak langsung, termasuk lebih dari 500 penangkar kerang.
“Pemagaran sepanjang 30,16 kilometer ini melintasi banyak wilayah pesisir dan sudah kami segel,” jelas Wahyu pada Jumat, 10 Januari 2025.
Jaringan Rakyat Pantura Akui Pagar Laut
Pihak Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengklaim pagar tersebut adalah inisiatif swadaya masyarakat untuk mencegah abrasi. “Pagar bambu ini membantu memitigasi bencana seperti gelombang besar dan abrasi,” ujar Koordinator JRP, Sandi Martapraja, Sabtu, 11 Januari 2025.
Namun, Ombudsman Provinsi Banten membantah klaim ini. Kepala Perwakilan Ombudsman Banten, Fadli Afriadi, menilai alasan tersebut tidak berdasar. “Informasi dari ahli menyebut dampak positif pagar ini sangat diragukan,” tegasnya, Rabu, 15 Januari 2025.
Hingga kini, konflik tetap bergulir dengan protes dari nelayan dan tuntutan pembongkaran pagar.
Sumber: TEMPO