GELUMPAI.ID – Setelah kasus pemerkosaan dan pembunuhan seorang dokter magang di rumah sakit di Bengal Barat pada bulan Agustus, ribuan wanita di seluruh India turun ke jalan dalam aksi “Reclaim the Night”. Meghamala Ghosh, yang turut serta dalam salah satu aksi tersebut bersama ibunya, merasakan langsung ketakutan saat malam mulai larut.
“Begitu jam 12 malam, saya langsung merasa, ‘Ini sudah terlalu larut, terlalu larut,’” ungkap Ghosh. Ketakutan itu sudah menjadi suara yang terus bergaung di kepalanya, sebagai wanita yang hidup di negara dengan tingkat kekerasan seksual yang sangat tinggi.
Ketika pulang dengan e-rickshaw, sebuah kelompok pria menghentikan kendaraan mereka, mengelilingi mereka, serta berteriak-teriak dan memandang dengan cara yang mengganggu di jalan yang sepi. Ghosh yang tidak yakin akan keselamatan mereka, meraih pisau dapur yang dibawanya sebagai pelindung.
Beruntung, sopir e-rickshaw bisa melaju cepat dan membawa mereka pulang dengan selamat. Alih-alih merasa terinspirasi oleh aksi ribuan wanita di jalanan itu, Ghosh malah berpikir, “Bagaimana kita bisa merebut malam, kalau malam ini sebenarnya tidak pernah menjadi milik kita?”
Banyak peserta aksi lainnya yang melaporkan mengalami intimidasi serta gangguan dari pria yang mencoba mengusir mereka dari demo tersebut.
Menurut aktivis, aksi ini adalah bagian dari gelombang peningkatan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam protes-protes di Asia Selatan. Namun yang tak kalah menarik adalah adanya perlawanan berbasis gender yang bertujuan menenangkan suara perempuan yang menuntut perubahan.
Alat Penindasan terhadap Perempuan
“Perempuan sudah lama terlibat dalam protes di negara-negara seperti India, Bangladesh, dan Pakistan, tapi kini mereka memegang peran lebih besar dan menjadi aktor utama,” jelas Heather Barr, Direktur Asosiasi di Human Rights Watch untuk divisi hak perempuan.
Sejak jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada 2021, hak-hak perempuan di Afghanistan semakin dibatasi, termasuk pembatasan suara mereka di ruang publik. Misogini dan marginalisasi terhadap perempuan memang dialami di seluruh dunia, namun sikap konservatif terhadap gender sangat terasa di Asia Selatan.