Ruang Getizen

‘Sextortion’: bentuk kekerasan seksual online yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah

Meninjau payung hukum ’sextortion‘ dalam KUHP dan UU ITE

Sebenarnya, secara umum (lex generali), payung hukum tindak pemerasan di Indonesia diatur dalam KUHP. Sementara, pemerasan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi atau informasi elektronik, secara khusus (lex specialis) diatur dalam UU ITE.

Menurut Pasal 368 ayat (1) KUHP, pemerasan merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan. Sarana terjadinya pemerasan dalam KUHP adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

Jika mengacu pada definisi dalam KUHP tersebut, sextortion tidak dapat dikategorikan sebagai pemerasan karena tidak selalu menyangkut harta kekayaan.

Ukuran ancaman kekerasan yang dimaksud dalam KUHP pun adalah mengakibatkan orang pingsan atau tidak berdaya, sementara bentuk ancaman dalam sextortion berbeda. Pelaku biasanya dengan sengaja melecehkan korban melalui konten intim milik korban yang mereka miliki, dan menggunakannya sebagai bahan ancaman untuk menyebarluaskan dan memaksa korban memenuhi keinginan pelaku.

Riset menunjukkan bahwa selain menginginkan barang berupa uang atau konten intim tambahan, pelaku sextortion juga kerap menuntut korban untuk berhubungan seksual. Sayangnya, permintaan hubungan seksual bukan termasuk unsur “barang” dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Pangeran Thailand Jadi Tukang Kebun di Bandung, Begini Ceritanya

Selain itu, ada celah lain dalam KUHP, yakni Pasal 369 ayat (1) mengenai ancaman pencemaran nama baik dan ancaman membuka rahasia.

Pencemaran nama baik yang dimaksud dalam pasal ini terdiri dari penistaan, penistaan dengan surat, penghinaan ringan, pengaduan palsu atau pengaduan ringan, dan perbuatan fitnah. Namun, ancaman pencemaran nama baik dan ancaman menyebarkan rahasia semacam ini bukanlah bentuk sextortion.

Sementara itu, ada UU ITE yang mengatur kejahatan pemerasan yang menggunakan sistem elektronik. Akan tetapi, Pasal 27 ayat (4) UU ITE belum cukup mengkriminalisasi sextortion.

Konsep informasi atau dokumen elektronik hanya meliputi muatan pemerasan dan pengancaman secara umum saja, bukan dengan menggunakan konten intim.

Pasal 29 UU ITE sebenarnya sudah menjabarkan bentuk ancaman, yakni berupa kekerasan yang melibatkan dampak fisik, psikis, atau kerugian ekonomi, serta tindakan menakut-nakuti seseorang. Tapi, pasal ini juga belum cukup, karena hakikat dari ’sextortion‘ bukan ancaman fisik atau psikis maupun menakut-nakuti korban, melainkan adanya pemerasan dengan risiko penyebarluasan konten intim yang kemudian memunculkan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Mahasiswa Bandung Mendadak Kaya, Ternyata Dari Judi!

Laman: 1 2 3 4

Berita Populer

01

Axel Pons Pembalap Moto2 yang Jadi Musafir Jalan Kaki ke India

02

Pilkada Absurditas

03

Kejati Banten Dituding Politisasi Kasus untuk Downgrade Airin

04

CCTV Ungkap Detik-Detik Tragis Liam Payne di Hotel

05

Net TV Resmi Ganti Nama Jadi MDTV dan Pimpinannya, Halim Lie Ditunjuk Jadi Direktur Utama