‘Sextortion’: bentuk kekerasan seksual online yang memakan banyak korban, tapi payung hukumnya masih lemah
UU TPKS juga memunculkan ambiguitas lain karena tidak menjelaskan apakah pemerasan atau pengancaman merujuk pada pengertian di KUHP sebagai ketentuan lex generali atau bukan.
Perlu penyempurnaan hukum
Dengan status quo saat ini, aparat penegak hukum hanya bisa menggunakan pasal-pasal yang sangat umum dan ambigu – seperti pasal penyebarluasan konten di UU ITE – dalam memutuskan kasus sextortion.
Demi memperbaiki konstruksi hukum pada kasus sextortion, aparat mestinya secara spesifik mempertimbangkan perbuatan pemerasan seksual oleh pelaku.
Hadirnya UU TPKS pada tahun ini sebenarnya menjadi momentum yang baik untuk pemberantasan kekerasan seksual. Tapi, aturan ini masih perlu penyempurnaan dan penjelasan mengenai unsur-unsur pasal di dalamnya, serta penambahan delik pokok dari perbuatan sextortion, guna mengisi kekosongan hukum.
Arianda Lastiur Paulina, S.H., Asisten Peneliti Indonesia Judicial Research Society, Indonesia Judicial Research Society
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Tinggalkan Komentar