GELUMPAI.ID – Tak lama setelah dilantik sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat, Donald Trump langsung mengejutkan dunia dengan perintah eksekutif yang mengawali proses penarikan AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Keputusan ini diterbitkan hanya 8 jam setelah pelantikan pada Senin (20/1/2025) waktu setempat dan memicu kekhawatiran tentang masa depan kepemimpinan kesehatan global serta kemampuan dunia dalam menghadapi pandemi.
Dilansir The New York Times, Trump menyebutkan sejumlah alasan dalam perintah eksekutifnya. Salah satunya adalah penanganan pandemi Covid-19 yang dianggap buruk oleh WHO, serta kegagalan organisasi tersebut dalam melakukan reformasi yang mendesak. Trump juga mengkritik besarnya pembayaran yang diminta oleh WHO dari Amerika Serikat, sambil menambahkan bahwa kontribusi China jauh lebih kecil.
Kritik terhadap WHO sendiri bukan hal baru bagi Trump. Sejak 2020, Trump telah mengancam untuk menghentikan pendanaan AS kepada organisasi tersebut, yang dia nilai gagal dalam mengelola pandemi global.
Namun, langkah penarikan diri ini dikhawatirkan akan menghambat akses Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS terhadap data kesehatan global yang sangat vital. Sebagai contoh, saat China mengidentifikasi urutan genetik virus corona pada 2020, informasi tersebut disebarkan melalui WHO kepada negara-negara lain. Tanpa akses ini, respons AS terhadap ancaman kesehatan global di masa depan bisa terganggu.
Langkah Trump mendapat kritik tajam dari berbagai pihak, salah satunya Lawrence O. Gostin, ahli hukum kesehatan masyarakat di Universitas Georgetown. Menurutnya, penarikan diri ini merupakan “luka serius” bagi kesehatan masyarakat global, dan “luka yang lebih dalam” bagi kepentingan nasional dan keamanan AS.
“Penarikan diri dari WHO tidak hanya melemahkan tanggapan global terhadap pandemi, tetapi juga merugikan kepentingan nasional kita sendiri,” tegas Gostin.
WHO, yang didirikan pada 1948 dengan bantuan AS, memiliki misi untuk mengatasi tantangan kesehatan terbesar di dunia. Namun, organisasi ini belakangan mendapat sorotan dari kelompok konservatif terkait upaya memperkuat kesiapsiagaan pandemi lewat perjanjian pandemi yang mengatur kebijakan negara anggota terkait pengawasan patogen dan berbagi data wabah.