Gadgets Health & Fitness

Gadget & Media Sosial: Ancaman Nyata Bagi Anak, Tapi Ini yang Lebih Penting

GELUMPAI.ID –Sebagai ibu dari anak berusia 10 tahun, saya sering kali merasa kehadiran media sosial seperti ancaman yang perlahan-lahan merayap masuk ke kehidupan anak saya. Sampai saat ini, saya dan suami memutuskan untuk tidak memberikannya ponsel. Satu-satunya perangkat yang ia miliki adalah Chromebook dari sekolah dengan pengamanan ketat yang melarang akses ke situs-situs tidak pantas.

Namun, ketika memproduksi film “The Coddling of the American Mind,” saya menyadari ada ancaman lain yang lebih krusial: pertempuran di dalam kepala anak muda kita. Buku karya Greg Lukianoff dan Jonathan Haidt ini menyoroti berbagai tantangan tersebut sekaligus menawarkan strategi untuk menghadapinya.

Dalam proses pembuatan film ini, kami berbicara dengan banyak Gen Z, sebagian masih berstatus mahasiswa. Kalau dulu perasaan canggung saat masuk kuliah adalah hal yang wajar, kini situasi semakin kompleks. Kampus justru menjadi “medan perang” dalam aspek paling pribadi: “Siapa teman saya? Aktivitas apa yang harus saya ikuti? Kelas mana yang harus saya ambil?”

![Anak di Depan Komputer](AP GraphicsBank)

Saat ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut seakan datang dengan risiko besar. Pilih kelompok dan pandangan yang “benar,” dan semuanya baik-baik saja. Salah langkah? Bersiaplah untuk dikucilkan.

“Peringatan akan bahaya media sosial tidak cukup untuk melindungi anak-anak, ada hal lain yang lebih efektif,” ujar pakar.

Hidup dalam Bayang-bayang ‘Cancel Culture’

Generasi muda sekarang menghabiskan banyak energi untuk memastikan diri tidak “terbatal” (canceled) dan membuktikan bahwa mereka memiliki pandangan dunia yang “benar.” Sayangnya, ini membuat mereka abai terhadap hal-hal lebih penting—seperti kemampuan menerima ketidaknyamanan dan mendengar sudut pandang berbeda—yang justru akan berguna di dunia nyata.

Ironisnya, kampus malah memberikan perlindungan berlebihan. Alih-alih mempersiapkan mereka menjadi pribadi tangguh, banyak pihak justru berusaha menjauhkan mahasiswa dari tantangan yang seharusnya membentuk karakter mereka.

Saat pemutaran film di Universitas Duke, seorang profesor menyatakan kesedihannya karena banyak mahasiswa menghapus sebagian besar jejak media sosial mereka menjelang kelulusan. Alasannya? Takut masa lalu mereka “digali” dan menghancurkan peluang karier di masa depan. Saya sangat memahami itu. Masa lalu kita tak lagi terbatas pada foto Polaroid atau buku tahunan. Satu versi masa lalu yang hanya sekadar “iseng” atau “mencari jati diri” bisa menjadi mimpi buruk bagi reputasi di masa depan.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar