Bisnis & Ekonomi News

Gimana Nasib PPN 12 Persen? Ini Dua Skenario yang Bisa Batalin Kenaikannya!

GELUMPAI.ID Wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 menuai banyak kontroversi. Meski pemerintah menjadikan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai landasan hukum, protes tetap menggema.

Bahkan, sebuah petisi menolak kenaikan PPN ini sudah ditandatangani lebih dari 170.000 orang. Apakah kenaikan ini benar-benar bisa dibatalkan? Ternyata, ada dua jalan legal untuk membatalkan PPN 12 persen!

Opsi Pertama: Peraturan Pemerintah (PP)

Berdasarkan UU HPP, pemerintah memang berwenang menaikkan tarif PPN, tetapi mereka juga punya opsi untuk membatalkan kenaikan tersebut. Pasal 7 ayat (3) dalam UU ini menyebutkan tarif PPN bisa diubah menjadi serendah 5 persen hingga maksimal 15 persen.

Sesuai Pasal 7 ayat (4), perubahan tarif ini harus disahkan lewat Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan ke DPR dan disepakati dalam pembahasan RAPBN. Artinya, Presiden Prabowo Subianto dapat menerbitkan PP untuk membatalkan kenaikan PPN ini, apalagi target penerimaan pajak di APBN 2025 masih memakai hitungan tarif 11 persen.

Opsi Kedua: Judicial Review di MK

Selain melalui PP, opsi lain yang bisa ditempuh adalah judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Dosen hukum administrasi negara Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Ilahi, menjelaskan bahwa jika aturan ini dinilai bertentangan dengan konstitusi, masyarakat atau pihak terkait bisa mengajukan uji materi ke MK.

“Kalau dibatalkan tentu ada mekanisme yang harus dilakukan. Yang bisa membatalkan secara hukum adalah MK jika diuji. Tapi persoalannya, sejauh ini belum ada yang mengajukan uji materi terkait hal ini,” ungkap Beni, Sabtu (21/12/2024).

Meski sudah ada dua skenario legal, Beni menilai langkah terbaik saat ini adalah pemerintah melakukan evaluasi atau menunda penerapan tarif baru ini. “Parameter barang mewah yang katanya bakal dikenai kenaikan pajak juga belum jelas rinciannya. Kalau salah langkah, dampaknya bisa ke kesejahteraan masyarakat,” tambahnya.

Ia mengingatkan pentingnya transparansi dalam kebijakan perpajakan dengan mengutip prinsip hukum pajak: “Taxation without representation is robbery.”

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar