PPN Indonesia Naik Jadi 12 Persen, Ekonom Sebut Vietnam Lebih Cerdas Jaga Konsumsi!
GELUMPAI.ID – Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia bakal naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dinilai tidak mendukung daya beli masyarakat yang sedang melemah. Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), mengatakan Indonesia sebaiknya meniru Vietnam yang justru menurunkan tarif PPN untuk mendorong konsumsi domestik dan kepatuhan pajak.
“Vietnam sangat paham, kalau konsumsi sedang melemah, ekonominya distimulus dengan tarif pajak lebih rendah. Tapi kepatuhan pajaknya dikejar. Itu mendorong pendapatan lebih besar lagi,” ujar Bhima dalam acara Obrolan Newsroom Kompas.com, Sabtu (21/12/2024).
Vietnam sebelumnya telah memangkas tarif PPN dari 10 persen menjadi 8 persen sebagai respons terhadap perlambatan ekonomi global. Langkah ini terbukti efektif meningkatkan konsumsi masyarakat sekaligus penerimaan pajak melalui kepatuhan yang lebih baik.
Sebaliknya, Indonesia memilih menaikkan tarif PPN untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak. Sayangnya, tingkat kepatuhan pajak di Tanah Air masih rendah. “Di Indonesia, meningkatkan rasio pajak dilakukan dengan menaikkan tarif. Tapi dengan tingkat kepatuhan rendah, logika ini jadi terbalik. Harusnya seperti Vietnam, tarif diturunkan, tapi kepatuhan didorong,” tambah Bhima.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengatakan tarif PPN Indonesia yang baru sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan beberapa negara besar seperti China (6-13 persen), India (18 persen), atau Brasil (17-20 persen). Namun, jika dilihat dari lingkup ASEAN, Indonesia akan menyamai Filipina dengan tarif tertinggi di kawasan.
“Vietnam justru berupaya menjaga daya beli masyarakat sambil meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini bisa menjadi contoh untuk Indonesia,” kata Bhima. Kebijakan fiskal Vietnam dianggap lebih seimbang karena mampu mempertahankan konsumsi tanpa mengorbankan penerimaan negara.
Kenaikan PPN ini dikhawatirkan akan membebani masyarakat dengan tambahan pengeluaran, bahkan diprediksi bisa mencapai Rp350.000 per keluarga. Dengan tantangan daya beli masyarakat yang masih lemah, kebijakan ini harus dipastikan memiliki dampak positif terhadap penerimaan negara dan kesejahteraan rakyat.
Tinggalkan Komentar