News Pemerintahan

Rencana Amnesti untuk Koruptor dari Prabowo, Picu Gelombang Kritik Tajam

GELUMPAI.ID – Wacana Presiden Prabowo Subianto yang akan memaafkan para koruptor asalkan mengembalikan hasil kejahatan mereka menuai gelombang kritik tajam. Banyak pihak, mulai dari aktivis hingga ahli hukum, menyebut langkah ini bertentangan dengan undang-undang sekaligus memperlihatkan sikap yang terkesan melindungi para pelaku rasuah.

Dalam pidatonya di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, pada Rabu, 18 Desember 2024, Prabowo menekankan pentingnya kesempatan bagi koruptor untuk bertobat. “Saya Minggu ini dalam rangka memberi kesempatan untuk tobat. Hey para koruptor atau yang pernah mencuri, kalau kembalikan yang kau curi akan saya maafkan,” katanya dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis, 19 Desember 2024.

Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, menilai bahwa ide pengampunan ini tidak menjawab akar masalah pemberantasan korupsi. “Daripada mewacanakan amnesti untuk koruptor, Presiden seharusnya mempercepat pembahasan RUU Perampasan Aset,” ujar Agus. Menurutnya, regulasi ini akan memberikan dampak positif dengan memastikan aset negara yang hilang bisa dipulihkan.

Sementara mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menyebut wacana ini sangat berisiko karena melanggar asas akuntabilitas dan transparansi pemerintahan. “Tindakan seperti ini justru berisiko tidak membuat efek jera bagi pelaku korupsi,” tegas Mahfud di Jakarta, Jumat, 20 Desember 2024. Ia menambahkan bahwa fokus Prabowo seharusnya mengarah pada penegakan hukum, bukan kompromi dengan pelaku.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, mengatakan bahwa wacana tersebut adalah upaya untuk menjustifikasi penghapusan pidana bagi koruptor. “Pemulihan aset tidak boleh menghapuskan penghukuman. Itu adalah rel yang berbeda dan harus dijalankan bersamaan,” katanya.

Herdiansyah Hamzah dari SAKSI menyebut bahwa ide ini cenderung memberikan keuntungan bagi pelaku rasuah. “Pengembalian kerugian negara oleh koruptor tidak menghapuskan pidana sebagaimana diatur Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999,” ujarnya. Menurut Herdiansyah, wacana ini menunjukkan ketidakpahaman terhadap regulasi antikorupsi di Indonesia.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar