Bisnis & Ekonomi G-Depth News

Industri Tekstil RI Rapuh, Kelemahan Selera Sosial Penyebabnya

GELUMPAI.ID – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia saat ini sedang dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Sejumlah pabrik besar sampai kecil terus berjatuhan, dan yang terbaru, PT. Sri Rejeki Isman (Sritex), yang merupakan salah satu pemain besar di industri ini, bahkan sudah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang pada Oktober lalu. Kasus ini semakin parah ketika Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan oleh perusahaan tersebut.

Menurut data yang dirilis oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), mulai dari Januari hingga September 2024, lebih dari 10 pabrik besar telah dinyatakan pailit, yang berdampak langsung pada 15.114 pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tentu saja, masalah ini tak lepas dari situasi geopolitik dan geoekonomi yang sedang kurang bersahabat dengan industri tekstil Indonesia.

Krisis yang dimulai dari pandemi Covid-19, yang mengurangi daya beli global, kemudian diperburuk oleh perang Ukraina-Rusia yang menambah biaya energi, ditambah dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, telah memberi pukulan telak bagi sektor ini.

Akibatnya, Badan Pusat Statistik mencatatkan, ekspor tekstil Indonesia turun sebesar 2,43 persen pada 2023, dengan penurunan nilai ekspor mencapai 14,78 persen dibandingkan tahun 2022. Di sisi lain, tingkat penggunaan mesin di pabrik tekstil Indonesia pun terjun bebas hingga 45 persen.

Lebih parah lagi, serbuan tekstil impor murah dari China semakin menekan pasar lokal. Pasca-pandemi, industri tekstil China berhasil pulih lebih cepat dan mulai mengancam pasar Indonesia dengan produk tekstil murah, seringkali hasil stok berlebih, dan yang lebih memprihatinkan—banyak di antaranya yang diimpor secara ilegal.

Data Kementerian Koperasi dan UMKM serta Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyebutkan, pada 2021 hingga 2022, nilai tekstil ilegal asal China tercatat mencapai Rp 59,2 triliun. Yang lebih fatal, produk tekstil ini lolos dari bea masuk, dijual dengan harga yang jauh lebih murah, dan membuat produk dalam negeri menjadi kesulitan bersaing.

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar