Dunia Digital

CBDC dan Aset Kripto Bisa Tingkatkan Inklusi Keuangan di Indonesia

GELUMPAI.ID – Bank Indonesia (BI) terus mendalami desain dan penerbitan Central Bank Digital Currency (CBDC). Kabar baiknya, BI sudah mengumumkan pada akhir tahun 2022 ini, mereka akan mengeluarkan white paper pengembangan CBDC atau Digital Rupiah.

Keberadaan aset kripto juga melatarbelakangi bank sentral menjajaki desain teknologi layanan keuangan ini.

Mayoritas bank sentral dunia telah mulai melakukan tahapan riset dan percobaan sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing. Menurut data Atlantic Council, saat ini lebih dari 100 negara yang mewakili lebih dari 95 persen PDB global, sedang menjajaki penerbitan CBDC.

Dari jumlah tersebut, 10 negara sudah resmi meluncurkan CBDC, 15 negara masih dalam tahap pilot project, 24 tahap pengembangan, 43 tahap riset (termasuk Indonesia), 10 negara CBDC-nya tidak aktif dan dua negara membatalkan penggunaan CBDC.

Pembahasan mengenai desain CBDC terus menjadi perhatian bank sentral di setiap negara, termasuk Indonesia. Salah satunya mengenai skema yang paling cocok dalam implementasinya ke depan. Selain itu, dukungan dan masukan industri juga merupakan masukan penting bagi bank sentral dalam merencanakan desain CBDC.

Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO), Teguh Kurniawan Harmanda, menyambut baik rencana peluncuran CBDC oleh Bank Indonesia. Pemerintah telah membuka diri terhadap perkembangan teknologi layanan keuangan agar tetap relevan. Utamanya tentu memberikan kemudahan dan pelayanan yang prima kepada masyarakat.

Tujuan utama CBDC dan aset kripto sejalan dan punya pandangan yang sama, di mana di Indonesia, kripto diakui sebagai komoditi, bukan mata uang untuk alat pembayaran. CBDC dan aset kripto bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi.

Keduanya bisa mendorong inklusi keuangan dengan menyediakan akses layanan yang mudah dan aman bagi populasi yang tidak memiliki rekening bank. Data Bank Indonesia pun mencatat ada sekitar 92 juta penduduk di Indonesia tak punya rekening bank.

“Kami siap berdiskusi dengan seluruh stakeholder untuk memberikan kontribusi menciptakan desain CBDC yang sempurna diterapkan di Indonesia. Pada akhirnya, CBDC memerlukan kerangka peraturan yang bersinergi dan kompleks termasuk mendukung inovasi, privasi, perlindungan konsumen dan standar anti pencucian uang yang perlu dibuat lebih kuat sebelum mengadopsi teknologi ini,” kata pria yang akrab disapa Manda.

CBDC dan Kripto Bisa Ciptakan Kestabilan Sistem Keuangan

Lebih lanjut, Manda menjelaskan ada sejumlah tantangan yang perlu dipertimbangkan secara cermat sebelum menerbitkan CBDC. Misalnya memperhatikan kestabilan sistem keuangan dan pemilihan teknologi yang digunakan pada tahap eksperimen untuk memahami bagaimana CBDC dapat diimplementasikan, baik menggunakan teknologi DLT-Blockchain maupun non-DLT.

Salah satu negara pertama di dunia yang telah menerapkan CBDC yang terbilang sukses adalah Bahama. Sand Dollar adalah versi digital dari dolar Bahama (B$). Seperti uang tunai, Sand Dollar dikeluarkan oleh Bank Sentral Bahama melalui lembaga keuangan resmi.

Sand Dolar digital Bahama ditopang oleh sistem blockchain bernama NZIA Cortex DLT dan bisa digunakan sebagai alat tukar yang sah. Sand Dollar bukan aset kripto (misalnya Bitcoin). Sand Dollar adalah CBDC, ini berarti unit akun dan alat pertukaran yang terpusat, teregulasi, stabil, privat dan aman. Sand Dollar adalah tanggung jawab langsung Bank Sentral Bahama, yang didukung oleh cadangan devisa.

“CBDC terbukti bisa mengurangi biaya pengiriman layanan dan meningkatkan efisiensi transaksional untuk layanan keuangan di seluruh Bahama. Validasi transaksi/pemrosesan transaksi real-time yang hampir seketika. Bahama berhasil meningkatkan layanan keuangannya pasca bencana alam Badai Dorian pada 2019, yang membuat bank kesulitan untuk mencetak uang. CBDC mampu mengatasi hal tersebut sehingga masyarakat Bahama bisa bertransaksi seperti biasa tanpa ketergantungan dengan uang tunai,” jelas Manda.

CBDC memang utamanya didesain tidak mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan. Keuntungannya bisa mengurangi hambatan terhadap inklusi keuangan, meningkatkan efisiensi pembayaran dan menurunkan biaya transaksi dan menciptakan transparansi.

Artikel Terkait