Anak Muda Apolitis? Justru Mereka Konsen pada Isu Sosial dan Isu Politik
GELUMPAI.ID – Merebut suara anak muda tidak cukup hanya dengan menggunakan media sosial, lebih bagus lagi juru bicara dari kalangan generasi muda, atau organisasi sayap pemuda. Hal terpenting adalah bagaimana memahami apa keinginan dari anak muda. Kemudian membuat program, termasuk menampilkan calon yang diinginkan dan dibutuhkannya.
Hal tersebut diungkapkan oleh Abie Besman, News Executive Producer Kompas TV, yang menjadi narasumber pada diskusi yang bertemakan ‘Pemilu 2024 di Mata Gen Z: Peran, Ekspektasi dan Partisipasi Kaum Muda Dalam Pesta Demokrasi’, di Media Centre KPU pada Jumat (9/12) kemarin.
Abie memaparkan hasil survei Litbang Kompas yang menunjukan tingginya animo kaum milenial dan generasi Z untuk mengikuti Pemilu 2024. Sebanyak 86,7 persen menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam pemilu. Sementara 10,7 persen masih menimbang dan 2,6 persen lainnya menolak ikut pemilu dikutip dari portal kpu.
“Preferensi pemilih muda dalam menentukan pilihan pada calon presiden akan bergantung pada kapasitas serta isu yang dibawa kandidat, ketimbang preferensi suku dan agama. Pemilih usia muda cenderung rasional dalam memilih pemimpin karena berfokus pada kapasitas dan kedekatan isu yang akan dibawa calon presiden nantinya,” ujarnya.
Menurutnya, pemilih usia muda dinilai mampu untuk mengakhiri perdebatan politik yang mendikotomikan pemimpin dalam kutub mayoritas dan minoritas. Anak-anak muda ini relatif bebas, tidak terkungkung soal etnis lebih menonjolkan kedekatan isu dan leadership quality bukan isu simbolik.
Narasumber kedua, Gen Z Content Creator, Jocelyn Valencia, Universitas Multi Media Nusantara (UMN) menyampaikan harapan anak muda menjelang pesta demokrasi, antara lain masyarakat Indonesia lebih melek politik dan meningkatkan literasi digital.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa memunculkan wakil-wakil rakyat yang dapat memperbaiki birokrasi dan pemerintahan yang lebih baik dan para pemimpin yang mendengarkan aspirasi anak muda serta pemimpin yang memanfaatkan kapabilitas anak muda yang tidak hanya kritis,tetapi juga kreatif.
“Anak muda tidak menutup mata. Mereka concern terkait ‘social issue” dan ‘politic issue” yang berdampak langsung bagi kehidupan mereka. Misalnya, isu pemilu, ketenagakerjaan, demokrasi, lingkungan, dan korupsi,” terangnya.
Sedangkan narasumber terakhir, Farchan Misbach Adinda, HIMA Hukum Universitas Nahdhatul Ulama (UNUSIA) menguraikan peran dan partisipasi Gen Z. Menurut Farhan anak-anak muda harus memahami esensi demokrasi.
Pemilu dan demokrasi sulit untuk dipisahkan satu sama lain. Namun demokrasi tidak melulu soal pemilu. Gen Z juga harus melek politik, selain literasi digital, literasi politik tidak kalah penting untuk Gen Z yang menjadi tools dalam memutuskan pilihannya selama pesta demokrasi.
Gen Z dapat menjadi second journalist/agent of control yang senantiasa memantau berjalannya pesta demokrasi dengan memanfaatkan media kreatif yang selalu konsen dan kritis. Terakhir, menjadi pemilih cerdas, kritis, dan kreatif. Tidak golput, ikut menggunakan hal pilih dengan mencoblos, mendukung kegiatan kegiatan yang dilakukan penyelenggara pemilu, misalnya sosialisasi pemilu.
“Siapa bilang Gen Z apolitis? Demonstrasi #ReformasiDikorupsi jadi bukti aktivisme politik Gen Z yang sering dituduh acuh soal dunia politik. Aksi ini bahkan jadi kolaborasi aktivisme di jalanan dan media sosial dulu tidak pernah terbayangkan sama sekali oleh generasi pendahulu,” Farhan memberi contoh.
Sebagai informasi, diskusi yang diselenggarakan KPU dengan media ini merupakan komitmen KPU terkait pemilu inklusif atau pemilu yang melibatkan multipihak termasuk media. Diskusi dipandu Joshua Sihombing, dan dihadiri, jurnalis media daring, TV, cetak, dan radio.
Tinggalkan Komentar