Gelombang PHK di Banten: Ancaman Deindustrialisasi yang Kian Nyata
GELUMPAI.ID – Banten menghadapi ancaman serius deindustrialisasi dini. Menurut Heru Wahyudi, akademisi di Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Pamulang, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang terjadi di provinsi ini merupakan peringatan keras bagi perekonomian lokal.
Kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sebesar 6,5 persen dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 disebut sebagai kombinasi kebijakan yang kontraproduktif. Heru menegaskan, “Jika tren ini terus berlanjut, Banten berisiko mengalami deindustrialisasi dini yang dapat merusak struktur ekonominya.”
Kebijakan Upah dan PPN: Buah Simalakama
Kenaikan UMK Banten 2025 menjadi Rp 2.905.119,90 dirancang untuk meningkatkan taraf hidup pekerja. Namun, kebijakan ini justru menjadi buah simalakama. Heru menilai tambahan biaya operasional memicu gelombang PHK massal dan relokasi perusahaan ke daerah dengan upah minimum lebih rendah, seperti Jawa Tengah.
“Ketergantungan Banten pada industri padat karya membuat provinsi ini rentan terhadap guncangan eksternal,” ujar Heru. Relokasi perusahaan besar, seperti PT Nikomas ke Pekalongan, tak hanya mengurangi peluang kerja, tetapi juga melemahkan daya tarik Banten sebagai pusat investasi industri.
Dampak Sosial dan Ancaman Kemiskinan
Heru juga menyoroti efek sosial dari PHK massal ini. Menurutnya, pekerja yang tidak mampu beralih ke sektor formal akan terdorong ke sektor informal dengan pendapatan dan jaminan sosial yang lebih rendah. “Ini menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus,” tambahnya.
Selain itu, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan tren PHK meningkat drastis. Selama Januari-Agustus 2024, sebanyak 190.639 pekerja di seluruh Indonesia kehilangan pekerjaan, dengan Banten mencatatkan angka tertinggi.
Solusi Strategis untuk Banten
Heru menekankan pentingnya diversifikasi ekonomi di Banten. “Pemerintah perlu mengembangkan sektor ekonomi kreatif, pariwisata, dan teknologi agar tidak terjebak dalam perangkap industri padat karya,” sarannya. Ia juga mendorong kebijakan yang lebih strategis dalam menentukan upah minimum dengan memperhitungkan produktivitas, daya saing regional, dan inflasi.
Tinggalkan Komentar