Living Law dan Kepentingan RKUHP
GELUMPAI.ID – Membahas living law dalam dunia hukum bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sesuatu yang sudah berkembang pesat sebelum lahirnya hukum positif di Indonesia yang diwarisi oleh jajahan-jajahan Prancis dan Belanda (Positivisme). Legal Positivisme mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku dan hukum positif di sini adalah norma-norma yudisial yang telah dibangun oleh otoritas Negara. Hukum Negara ditaati secara absolut yang disimpulkan ke dalam suatu statement gezetz ist gezetz atau the law is the law.
Mazhab sejarah yang dipelopori Von Savigny mulai menarik perhatian banyak orang dari suatu analisis hukum yang bersifat abstrak dan ideologis kepada suatu analisis hukum yang difokuskan pada lingkungan sosial yang membentuknya. Savigny berpandangan bahwa, hukum itu timbul bukan karena perintah penguasa atau kekuasaan, melainkan karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (volkgeist). Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
Eugen Ehrlich seorang ahli hukum dan sosiologi dari Austria, berpendapat bahwa persoalan-persoalan tentang hukum, pada saat ini, tidak lagi merupakan persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsiran pasal-pasal peraturan perundang-undangan secara semestinya, melainkan bergerak ke arah penggunaan hukum sebagai sarana untuk turut membentuk tata kehidupan yang baru atau sesuai dengan kondisi saat ini (ius vactum). Dengan kata lain, hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Teori Living Law dari Eugene Ehrlich yang menyatakan dalam setiap masyarakat terdapat aturan-aturan hukum yang hidup (living law) dari tatanan normatif, yang biasanya dikontraskan atau dipertentangkan dengan sistem hukum negara termasuk dalam kategori pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralism). Karakteristik the living law adalah sifatnya yang dinamis. Meskipun tidak diformulasikan dalam hukum positif tapi the living law hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat. Karena sifatnya yang dinamis maka the living law sangat adaptif terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Living law diatur sendiri dalam Bab XXXIII tentang Tindak Pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Disebutkan bila asas legalitas tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini. yang dimaksud dengan “hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana” adalah hukum pidana adat. Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Rumusan “Asas Legalitas RKUHP” secara substansial menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana akibat perbuatan yang ia lakukan, meskipun tidak ada aturan tertulis yang mengatur perbuatan tersebut sejauh perbuatan itu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat (Living Law). Dengan rumusan substansi seperti ini, sebagian besar kelompok masyarakat, intelektual hukum, maupun praktisi hukum merasa keberatan terhadap perluasan Asas Legalitas Hukum Pidana di dalam RKUHP, mengingat bila substansi aturan tersebut diberlakukan maka akan potensial menimbulkan praktik persekusi dan main hakim sendiri atas nama penegakan “nilai yang hidup di masyarakat”.
Di satu sisi yang lain terdapat kontradiksi tersendiri, dimana penggunaan istilah “nilai yang hidup di masyarakat” juga bermasalah secara rumusan dan eksistensinya, mengingat tidak ada indikator yang jelas untuk menentukan sebuah nilai yang hidup di masyarakat atau tidak, serta tidak ada juga institusi berdaulat yang cukup legitimate untuk menentukan apakah sesuatu tersebut merupakan sebuah nilai yang hidup di masyarakat atau tidak.
Pada prinsipnya hukum adat tidak secara eksplisit memisahkan mana bagian dari hukum perdata dan mana bagian dari sebuah hukum pidana. Seiring berjalannya waktu, masyarakat adat sendirilah yang menganggap tindakannya merupakan bagian dari hukum positif, sebagai contoh ialah sebuah sanksi denda untuk seseorang yang telah melanggar ketentuan adat pada suatu wilayah adat berupa “harta” yang terkadang kita tak tau persis apa tolak ukurnya hingga masyarakat adat dapat menyimpulkan besaran dari nilai atau barang atas denda tersebut.
Secara historis aturan adat kerap hanya bersumber dari kebiasaan yang telah turun-temurun diterapkan oleh masyarakatnya sendiri, dalam hal ini jika kita meyakini prinsip hukum pidana yakni asas lex scripta (hukum pidana itu harus tertulis) dan lex certa (hukum pidana itu harus jelas) dibandingkan dengan aturan adat jelas sangat tak selaras sebab hukum adat sendiri mayoritas tidak tertulis bahkan antara Pidana dan Perdata pun hukum adat tidak mendikotomikannya secara jelas.
Dapat kita tarik kesimpulan bahwa maksud dari RKUHP mengadopsi living law dan mengawinkannya dengan asas legalitas ialah demi kepentingan masyarakat adat yang kerap terisolir oleh perkembangan hukum positif di Indonesia, serta dengan adanya peran hukum masyarakat adat yang masuk ke dalam hukum positif pidana Indonesia justru menjadi suatu bentuk pembenaran secara konstitusional.
Perlu kita ketahui berrsama bahwa RKUHP dibentuk berdasarkan demokrasi dan Hak Asasi Manusia, sehingga dalam melakukan kodefikasi hukum adat kedalam Hukum Pidana merupakan suatu alasan yang kuat untuk menegakkan Hak Asasi Manusia yang lahir dari pidana adat, misalnya bagi pelaku kejahatan dalam pidana adat suku baduy maupum pidana adat suku Sasak Sade dan masih banyak adat-adat lain yang menyelesaikan perkara pidana dengan melakukan pembunuhan, yang dimana ini bertentangan dengan hukum positif Indonesia.
Eksistensi adat telah ada. Lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama. Kemudian dalam bentuk kodefikasi hukum pidana adat setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. Oleh karena itu, hukum pidana adat secara holistik menjiwai seluruh lapisan ilmu hukum dalam praktek hukum sehingga eksistensi dari dimensi ilmu hukum hukum pidana adat tidak diragukan kapabilitasnya sebagai karakteristik praktek hukum di Indonesia.
Hukum adat memang berfungsi sebagai pencegah, penengah perdamaian, dan pemersatu tidak menjadi pembelah buluh. Hukum adat tidak mengenal sanksi kurungan dan sebagainya, karena menganggap manusia yang hidup tidak ada yang tidak akan bertaubat. Memang benar bahwa terhadap pristiwa tindak pidana kejahatan khususnya pembunuhan yang tentu telah melanggar deluk-delik lainnya, rakyat menerima kehadiran KUHP, tetapi karena hukum pidana umum ini deliknya terbatas pada ranah pengadilan dan tidak mampu mengakomodir persoalan masyarakat adat maka dibutuhkan adanya upaya adat untuk mengakomodir keseimbangan yang mengagganggu.
Juga dalam kodifikasi hukum adat ke dalam RKUHP semata-mata hanya untuk melindungi Hak asasi masyarakat dalam konstitusi yaitu setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya, selain atas dasar Hak Asasi Manusia RKUHP tidak mencampuri warisan-warisan adat istiadat yang ditingglakan oleh leluhur kita, melainkan warisan tak benda tersebut harus dijaga ditengah gempuran modernisasi.
Opini dari Rizki Rahayu Fitri, Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI
Tinggalkan Komentar