Pangeran Istana Jadi Kuli dan Tukang Kebun: Kisah Nyata yang Bikin Geleng Kepala
GELUMPAI.ID – Siapa yang menyangka kehidupan istana yang serba megah bisa berubah drastis menjadi kehidupan rakyat biasa? Itulah yang dialami oleh dua pangeran dari dua kerajaan berbeda: Kerajaan Thailand dan Kesultanan Yogyakarta. Kisah mereka yang penuh kejutan ini mengajarkan arti kebebasan dan perjuangan hidup yang sebenarnya.
Suryomentaram, Kabur dari Keraton dan Pilih Jadi Kuli
Suryomentaram, putra ke-55 Sultan Hamengkubuwana VII, lahir di lingkungan keraton yang penuh kemewahan. Namun, di tengah gemerlapnya kehidupan ningrat, dia merasa ada sesuatu yang salah. Dalam buku Ilmu Bahagia Ki Ageng Suryomentaram (2020), dia disebutkan melihat ketimpangan yang terjadi: bangsawan foya-foya, sementara rakyat menderita.
Keinginannya untuk meninggalkan keraton tak mendapat restu dari ayahnya. Tak menyerah, Suryomentaram akhirnya kabur dengan mengubah identitas menjadi “Natadangsa”. Dia menjalani kehidupan rakyat biasa sebagai kuli sumur di desa terpencil Yogyakarta, pedagang batik, hingga petani di Cilacap.
Namun, penyamarannya tak bertahan lama. Orang suruhan Sultan akhirnya menemukannya. Kembali ke keraton tak membuatnya nyaman, apalagi setelah orang tuanya bercerai. Suryomentaram yang sederhana bahkan dicemooh karena memakan pecel di pinggir jalan bersama rakyat jelata.
Paribatra, Pangeran Thailand yang Jadi Tukang Kebun di Bandung
Nasib serupa dialami Paribatra, putra Raja Chulalongkron (Rama V) dari Thailand. Kehidupan mewahnya berakhir ketika kudeta pada 24 Juni 1932 menggulingkan kekuasaan Rama V. Paribatra terpaksa meninggalkan istana yang telah menjadi rumahnya selama 50 tahun.
Setelah mencoba ke Eropa, akhirnya dia memilih Hindia Belanda sebagai tempat pelarian. Pada Agustus 1932, dia tiba di Batavia lalu menetap di Cipaganti, Bandung, bersama keluarganya.
Di Bandung, Paribatra menemukan kebahagiaan baru sebagai tukang kebun. Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), Haryoto Kunto mencatat bagaimana Paribatra menjadi ahli tanaman anggrek. Bahkan, majalah Mooi Indie (1937) menyebutkan, dia rela mengabdikan hidup untuk memperkenalkan anggrek ke Bandung, yang kala itu masih minim bunga-bunga.
Tinggalkan Komentar