Pembatalan Pameran dan Kontroversi Lukisan: Yos Suprapto Pulang Kampung dengan Kekecewaan
GELUMPAI.ID – Tiga dari total 37 karya lukis milik seniman Yos Suprapto sudah laku terjual sebelum akhirnya harus “pulang kampung”. Keputusan ini diambil setelah batalnya pameran lukisan bertajuk Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan di Galeri Nasional Indonesia pada Kamis (19/12).
“Sudah ada tiga lukisan yang laku terjual, dan sisanya akan saya pamerkan di tempat lain,” ungkap Yos Suprapto kepada wartawan, Selasa (24/12).
Yos mengaku kecewa lantaran pameran tersebut memiliki misi besar, yakni menyadarkan masyarakat Indonesia tentang pentingnya kedaulatan pangan. Namun, drama pembatalan ini justru menjadi sorotan utama.
“Narasi Tidak Utuh,” Keluh Yos
Menurut Yos, pembatalan ini terjadi setelah kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo, meminta lima dari 37 lukisan diturunkan. Alasannya? Kelimanya dianggap terlalu “berani” karena menggambarkan opini pribadi Yos tentang praktik kekuasaan di Indonesia.
“Lukisan-lukisan tersebut menjadi narasi latar belakang situasi dari tema kedaulatan pangan itu sendiri,” tegasnya. “Narasinya jadi tidak utuh.”
Meski begitu, pihak Galeri Nasional Indonesia menegaskan pembatalan ini murni karena kendala teknis yang tak terhindarkan.
Lukisan yang Kontroversial
Suwarno Wisetrotomo, sang kurator, mengatakan dua dari lima karya Yos dianggap terlalu eksplisit dalam menyampaikan kritik sosial, sehingga dinilai kurang selaras dengan tema pameran. Namun, Yos bersikeras bahwa semua karyanya memiliki relevansi kuat dengan isu kedaulatan pangan.
“Enggak usah, ngapain [bahas harga]. (Pameran di mana) Sudah nanti saja,” ujar Yos saat ditanya soal detail pameran mendatang.
Sementara itu, ia tetap optimis untuk memamerkan karya-karyanya di tempat lain. Dari total 37 karya, termasuk beberapa lukisan kecil, semuanya akan dibawa pulang.
Penolakan yang Berujung Kerugian
Yos mengaku rugi besar akibat pembatalan mendadak ini. Padahal, lukisan-lukisannya telah mencuri perhatian publik selama beberapa hari terakhir.
Pameran yang sejatinya diharapkan mampu menyuarakan isu krusial ini justru berubah menjadi perdebatan tentang seni dan kebebasan berekspresi.
Tinggalkan Komentar