Internasional News

Musik Famo: Tradisi yang Terseret Arus Kekerasan

GELUMPAI.ID – Sebuah siang yang cerah di Johannesburg, Afrika Selatan, sebuah minibus putih dengan 22 penumpang perlahan meninggalkan terminal yang penuh sesak menuju Lesotho, kerajaan kecil yang terkurung daratan di tengah Afrika Selatan.

Begitu minibus memasuki jalan raya, suara akordeon solo mengalun melalui radio, membuka sebuah lagu terkenal dari genre Famo. “Saya bisa mendengarkan musik ini sepanjang hari,” kata seorang pemuda dengan pakaian kerja biru yang dikenakan ala modis. Para penumpang lainnya, sebagian besar warga Lesotho, ikut bergoyang kepala dan bernyanyi mengikuti irama lagu.

Famo, genre musik yang memadukan lagu tradisional Afrika Selatan dan alat musik Barat, muncul sekitar satu abad lalu di komunitas penambang migran di Afrika Selatan. Musik ini dikenal karena dominasi akordeon yang dipadukan dengan teknik petikan gitar gaya maskandi, subgenre musik rakyat Zulu.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Famo menjadi terkenal bukan hanya karena alunannya, tetapi juga konflik berdarah di Lesotho yang melibatkan penggemar dan penyanyinya. Dilansir dari Al Jazeera, rivalitas antar kelompok Famo telah memicu perang antar geng yang mematikan, membuat pemerintah menetapkan beberapa kelompok sebagai organisasi teroris dan melarang aktivitas mereka sejak Mei tahun ini.


Transformasi Musik Famo

Menurut Thabelo, seorang sopir taksi di Maseru yang diwawancarai namun meminta namanya disamarkan, pelarangan konser-konser Famo membuat para penggemar sejati kehilangan kesempatan menikmati penampilan artis kesayangan mereka. “Saya suka musik Famo,” ujarnya. “Sekarang kami hanya bisa memutar musik ini di mobil atau rumah.”

Famo, yang dulunya menjadi simbol hiburan dan ekspresi budaya Basotho, kini dianggap sebagai alat provokasi kekerasan oleh beberapa kelompok. Mantsali Julia Hantsi, seorang artis Famo dengan nama panggung Thope Tse Khang, menjelaskan bahwa sejarah awal genre ini jauh dari kekerasan. “Dulu, musik Famo digunakan untuk bercerita dan melestarikan budaya,” katanya. “Sayangnya, belakangan ini, musik ini disalahgunakan untuk kepentingan yang merusak.”

Artikel Terkait

Tinggalkan Komentar